"Modal Sosial" sebagai Upaya Deideologisasi "Pembangunan"

Posted: by ~apantumae~ in
0

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial yang baru saja berakhir di Kopenhagen 12 Maret lalu menyentil kita dengan sebuah kosa kata yang seolah baru: "modal sosial." Jenis modal inilah yang selama ini luput dari timbangan penyelenggara pemerintahan yang umumnya terkesima bahkan terhanyut dalam ritus ideologisasi atas apa yang mereka percayai sebagai "pembangunan." Modal sosial tiba-tiba tampil menjadi kata kunci menanggap tiga agenda pokok konperensi: mengurangi kemiskinan, menciptakan angkatan kerja yang produktif, dan meningkatkan integrasi sosial.

Terkait dengan kemunculannya, adalah kaum "post-modernist" yang selama ini gigih melawan ideologi penopang lahirnya peradaban industri. Modernisme mereka tuduh telah ingkar janji. Sebab, di balik kemakmuran yang dijanjikan masih saja bergelimang berbagai masalah ekonomi, kemiskinan dan pengangguran yang pada saatnya mengakibatkan munculnya kilas balik dari capaian pembangunan itu sendiri: disintegrasi sosial.

Menanggap diskursus yang berlangsung, para penyelenggara pemerintahan, baik di negara maju maupun berkembang, umumnya masih bersikukuh menerapkan kebijakan yang berupaya mengendalikan penuh roda ekonomi masyarakat. Ekonomi lantas cenderung dibaca sebagai "ekonomi-politik," tak ubahnya seperti penjabaran di era Adam Smith. Jika pun ada pergeseran pandang masalah kemiskinan, pengangguran dan disintegrasi sosial yang mulai dimengerti sebagai masalah "ekonomi sosial" pemahamannya baru ter-realisasikan pada tataran kebijakan berciri karikatif, padat karya, dan mengandalkan pendekatan keamanan.

Padahal, faktor sosial, yakni ikatan-ikatan yang mempertalikan manusia satu dengan lainnya, tak kalah penting dibandingkan dengan kebijakan yang selama ini selalu mengarah pada kestabilan ekonomi. Faktor sosial inilah yang dimaksud modal sosial. Ia terjelma dari persenyawaan antara tiga unsur.
Pertama, ikatan tradisi dalam wujudnya sebagai keluarga, kekerabatan dan kewilayahan. Kedua, kesediaan untuk bekerja keras dibawah pemahaman bahwa mereka yang tidak bekerja tidak berhak memperoleh makanan. Dan ketiga, suatu konteks yang disediakan oleh pemegang tampuk kekuasaan berupa ketenteram-an politik, terbukanya kesempatan ekonomi dan finansial serta jaminan keamanan masa depan yang meyakinkan.

Dua faktor pertama bersama-sama, dalam bingkai konteks faktor ketiga, membentuk apa yang disebut modal sosial itu. Maka terjadi saling taut fungsional dari persekutuan antarmanusia, karya dan modal. Persekutuan antarmanusia menciptakan komunitas dan tradisi resultante masa lalu. Karya memungkinkan manusia mempertahankan hidup di alam kekinian. Dan modal mengamankan dan memberi cercah harapan masa depan.

Kontra-postulat
Bukanlah suatu kekecualian kalau kaum miskin yang selama ini dikesampingkan dalam setiap pengambilan keputusan malahan merupakan aset yang menakjubkan. Sebagian besar mereka yang mengalami mobilitas geografis sebagai kaum migran ternyata adalah juga kekuatan raksasa yang mampu bergerak secara jitu dalam menetak sasaran-sasaran pembangunan. Tak terpungkiri, mereka pulalah lapisan masyarakat yang paling mengalami mobilitas psikis. Perubahan orientasi hidup yang mereka alami bahkan membuahkan perubahan radikal pada profil fisik kota-kota metropolitan seperti Jakarta atau Surabaya.

Dimana mereka hadir, disana pulalah tercipta pekerjaan, lapangan perekonomian, dan unjuk keuletan untuk bertahan hidup yang luar biasa. Seolah mereka menyatakan diri kepada dunia, mereka bukan saja berkehendak untuk bertahan hidup tetapi juga menyediakan suatu masa depan bagi generasi berikutnya. Tragisnya, begitu lahan atau lapangan kerja baru tercipta berkat daya jelajah mereka, begitu orang-orang kuat berebutan. Berusaha menjarah "temuan" paten mereka melalui monopoli, dibawah legitimasi surat keputusan menteri.

Pengaruh yang tak kalah menentukan dari kaum miskin migran dapat ter-rasakan melalui sumbangan mereka bagi kemakmuran daerah tempat asal, utamanya yang langsung dirasakan para sanak keluarga. Prosesi hijrah musiman yang berlangsung setiap pekan Lebaran adalah bukti yang sangat meyakinkan. Bupati Gunung Kidul, daerah Istimewa Yogyakarta, pernah melaporkan naiknya pendapatan daerah yang berkorelasi dengan peningkatan jumlah warga Gunung Kidul yang hijrah ke Jakarta.

Kekempalan kelompok dan solidaritas sosial mereka pun tak kalah mengagumkan. Di kota-kota besar tak jarang ditemui berbagai arisan paguyuban atau ikatan-ikatan berdasarkan status residensial yang salah satu kiprahnya menyediakan kas dana untuk pembangunan (mesjid, gereja, persekolahan) di kampung halaman mereka. Mereka kumpulkan sebagian uang perolehan di perantauan untuk dikirimkan kepada pihak-pihak di tempat asal dengan siapa mereka pernah terlibat dan mendendam keprihatinan. Patembayatan Bayat (Klaten), atau Paguyuban Wonosaren di Jakarta adalah salah satu contohnya.

Fakta itu secara telak mementahkan postulat yang selama ini ditarik berdasarkan pengamatan dangkal oleh anggota kelas sosial di luar kaum miskin. Mereka bukan lagi lapisan masyarakat yang pantas disepelekan. Juga bukan kambing hitam bagi berbagai masalah sosial, atau komponen peribadahan serta bahan kotbah keagamaan guna menyentuh hati para pemeluk agar sudi berderma ria. Mereka bukan pihak yang pantas dibela semata untuk melegitimasikan paham pembangunan atau pihak yang bisa dipindah-pindah bak kawanan burung perampas panenan. Dan, yang lebih penting, laporan tentang jumlah populasi mereka bukanlah tolok ukur untuk mengguratkan keberhasilan pembangunan yang hasilnya kadang mereka rasakan tak diperuntukan bagi mereka.

Redifinisi Modal
Bagi kaum migran umumnya, investasi masa depan bukan lagi diwujudkan dalam banyaknya uang, tetapi pendidikan yang cemerlang. Beberapa dasawarsa yang lalu modal yang dimengerti sebagai perlengkapan yang diperlukan untuk mendatangkan kesejahteraan (material) di masa depan cenderung dimaknakan secara sempit sebagai jumlah uang yang diperlukan guna memperoleh peralatan atau prasyarat mendapatkan pekerjaan.

Pada tahun enampuluhan pernah muncul konsep "modal manusia", yaitu pencanangan keterampilan dan kualitas pendidikan individu sebagai kebutuhan mendesak dan sementara pemfungsian modal finansial guna memperoleh kesejahteraan di hari depan. Kini, sebagai tindak lanjut dari KTT Pembangunan Sosial itu, dicoba pahami bersama bahwa modal sosial seperti halnya modal finansial sama-sama penting bagi pembangunan.

Yang menarik dicatat, pemerintah tak dapat menciptakan modal sosial berhubung jenis modal ini tidak dapat dipinjam dari luar negeri atau ditunggu dari uluran tangan para donatur proyek kemanusiaan. Tidak ada satu bank atau komisi internasional pun yang dikhususkan untuk mengelola urusan modal jenis ini. Agaknya, yang diperlukan dari pemerintah adalah penyediaan iklim dan lingkungan politik yang memungkinkan modal itu tumbuh dan berkembang.

Dengan menjamin kepastian tata hukum yang benar dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, sangat boleh jadi, negara mempunyai peluang berperan menumbuhkan perekonomian dan stabilitas sosial seperti dimaksud. Secara kongkrit, hal ini dapat ditempuh dengan memberikan dorongan dan dukungan kepada keluarga-keluarga dan berbagai bentuk ikatan sosial dan budaya yang ada tanpa pagi-pagi membubuhkan stigma sosial tak tergugatkan, seperti "pengganggu jalannya pembangunan."

Sudah saatnya "pembangunan" tak lagi diideologisa-sikan semena-mena meski dengan pameo menggetarkan, seperti "options for the poor", semata untuk meraup suara sebanyak-banyaknya saat upacara pemilu. "Pembangunan" harus mengalami pemurnian kembali melalui proses deideologisasi. Ia harus menjadi "options with the poor". ***

0 komentar: