Situasi Politik Indonesia dan "Zero Sum Society"

Posted: by ~apantumae~ in
0


Oleh Priyo Pujiwasono*)
      
      ZERO Sum Society adalah istilah populer di Amerika awal tahun 1980-an.
      Mengamati kekacauan situasi politik dan ekonomi Amerika saat itu, Lester C
      Thurow, Profesor Ekonomi dan Manajemen di MIT (Massachusetts Institute of
      Technology) menerbitkan buku terkenal, The Zero-Sum Society: Distribution
      and the Possibilities for Economic Change (Buku ini dikeluarkan pertama
      kali tahun 1980, namun diterbitkan ulang oleh penerbit yang berbeda April
      tahun lalu).
      Dalam buku ini, Thurow menggambarkan, berbagai problema ekonomi politik di
      tengah masyarakat biasanya menghasilkan solusi yang sifatnya zero sum
      game. Ibarat sebuah pertandingan, suatu kelompok hanya bisa mendapat
      kemenangan bila ada kelompok lain yang kalah, atau lazim disebut the
      winners only gain at the expense of the losers. Atau dalam bahasa Thurow
      dikatakan: For every winner there is a loser and winners can only exist if
      losers exist.
      Sebagian besar ulasan Thurow dalam buku ini mengkritik kebijakan
      ekonomi-politik di Amerika. Thurow mengecam elite politik dan pembuat
      kebijakan di Amerika yang dinilainya incompetence dalam mengambil
      keputusan, karena tidak berusaha mengatasi masalah secara
      sistematis/struktural, tetapi cenderung bersikap reaktif atau tambal-sulam
      (ad hoc) dalam pengambilan keputusan. Misalnya, bila solusi yang diambil
      untuk mengatasi stagnasi ekonomi Amerika adalah redistribution of income,
      maka ini berarti suatu zero sum game karena dampaknya dapat menghambat
      pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Menurut Thurow, amat penting bagi
      pengambil kebijakan memahami konsep zero sum game ini, sehingga mereka
      akan mampu mengambil pilihan kebijakan yang lebih arif.
      "Civil society"
      Dalam kajian civil society biasanya para pakar menempatkan kepentingan
      warga negara/masyarakat terpisah dari kepentingan state (pemerintah atau
      pengambil keputusan). Pemisahan ini bukan berarti, kepentingan masyarakat
      akan selalu bertentangan dengan kepentingan negara, tetapi hanya untuk
      memudahkan kajian bagaimana masing-masing kelompok dapat menjalankan
      fungsinya. Beberapa pakar civil society, misalnya, mendefinisikan civil
      society sebagai the public sphere distinguished from the state (Huber,
      Rueschmeyer, and Stephens) atau definisi lainnya adalah self organizing
      groups, movement, and individuals, autonomous from the state. Kedua
      definisi ini jelas menekankan, masyarakat sipil adalah suatu kelompok atau
      ruang publik yang bebas dari keterlibatan atau intervensi negara.
      Dalam beberapa hal, tidak jarang kepentingan masyarakat bertabrakan dengan
      kepentingan negara atau sebaliknya. Contohnya, keinginan pemerintah untuk
      menarik pajak lebih banyak atau menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan
      defisit anggaran, tentu akan memberi beban masyarakat. Sebaliknya
      keinginan masyarakat untuk mendapatkan kebebasan mengeluarkan pendapat
      melalui protes dan demonstrasi, tentu memberi tambahan pekerjaan bagi
      pemerintah untuk memberi jaminan keamanan dan ketertiban.
      Dalam konteks ini, di mana seolah-olah kepentingan masyarakat akan
      bertabrakan dengan kepentingan negara, beberapa pakar mengusulkan agar
      kajian masyarakat sipil jangan ditekankan kepada definisi what it is,
      tetapi harus lebih dipahami what it does, atau bagaimana kepentingan
      negara dan masyarakat itu bisa sama-sama dijalankan dengan baik. Karena
      itu, dalam konteks kepentingan negara-masyarakat, sebenarnya yang penting
      adalah bagaimana fungsi masyarakat sipil-yaitu memperjuangkan kepentingan
      dan tuntutan publik, memenuhi hak-hak serta kebutuhan mereka-bisa
      dioptimalkan melalui berbagai organisasi dan institusi, yang tidak selalu
      harus dipisahkan dari kepentingan negara.
      "Zero sum game"
      Belajar dari kritikan Thurow terhadap kebijakan ekonomi politik Amerika,
      muncul pertanyaan: benarkah setiap kebijakan yang diambil pemerintah atau
      pengambil keputusan akan selalu menghasilkan situasi "menang-kalah"? Ambil
      contoh, pemberian izin pembangunan kawasan di Pantai Indah Kapuk (PIK)
      yang menguntungkan kelompok Ciputra, di lain pihak menghasilkan kerugian
      bagi lingkungan karena berkurangnya daerah resapan air. Atau misalnya
      penerapan otonomi daerah memberi kewenangan lebih besar bagi pemerintah
      daerah, namun akan mengurangi berbagai pemasukan/pendapatan pemerintah
      pusat. Dari contoh ini jelas mendukung argumentasi Thurow bahwa (hampir)
      tidak ada suatu kebijakan publik yang hanya memberi keuntungan atau hal
      positif, tetapi juga memberi kerugian kepada pihak lain. Dengan konsep
      Thurow ini, dapat dikatakan suatu kebijakan publik yang memberikan win-win
      solution kepada semua pihak itu sebenarnya tidak pernah ada.
      Pemahaman akan adanya konsep "menang-kalah" menjadi penting dalam
      kehidupan politik di negara kita. Kemenangan suatu kelompok politik,
      sering diartikan sebagai kekalahan politik bagi kelompok lain. Sebut,
      penahanan Akbar Tandjung dianggap sebagai kerugian Partai Golkar sehingga
      timbul ancaman Golkar akan menarik kadernya dari jajaran kabinet. Maraknya
      berbagai konflik politik di Indonesia sejak dimulainya era reformasi
      setelah keruntuhan Orde Baru tampaknya cenderung menghasilkan zero sum
      society. Sudah empat tahun reformasi digulirkan, tetapi tanda-tanda
      reformasi membawa perbaikan kehidupan masyarakat belum juga tampak.
      Korupsi tetap merajalela, sebagaimana hasil laporan survei Political and
      Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong (Kompas,
      11/3), Indonesia justru terpuruk menjadi negara paling korup di Asia.
      Kekacauan dan konflik politik di daerah-daerah belum juga reda, sementara
      penegakan hukum masih menjadi tanda tanya besar.
      Eforia reformasi dan demokrasi tampaknya sedang menghinggapi kehidupan
      politik di Indonesia, sehingga sering kali para elite politik lupa, setiap
      keputusan yang diambil harus untuk kepentingan constituents mereka yang
      paling besar (baca: rakyat Indonesia). Para elite politik cenderung
      memandang kebijakan publik sebagai suatu perebutan "menang-kalah" dari
      kacamata partai politik. Bila sudah demikian, kepentingan publik (civil
      society) menjadi nomor sekian setelah kepentingan partai atau kelompok.
      Selain itu, tidak jelasnya konsep siapa the ruling party dan oposisi,
      mengakibatkan akuntabilitas dari suatu kebijakan yang gagal amat sulit
      dipertanggungjawabkan oleh siapa. Bila demikian, Pemilu dengan sistem
      distrik meski merupakan hal baru bagi kita, tampaknya menjadi solusi
      terbaik untuk memperbaiki sistem politik kita.
      Akhirnya, satu pelajaran penting yang harus diingat dalam suatu zero sum
      society adalah, harus disadari, dalam kebijakan publik tetap harus ada
      pihak yang kalah dan konsekuensinya harus menanggung kerugian, tetapi
      kepentingan masyarakat banyak (civil society functions) harus tetap
      menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Apabila
      kita tidak mau mengambil pelajaran, atau berpura-pura konsep
      "menang-kalah" tidak pernah ada, kata Thurow, "we are simply going to
      fail". Pemahaman atas konsep ini akan membuat pengambil keputusan lebih
      mudah mengambil pilihan kebijakan paling optimal bagi seluruh rakyat,
      bukan hanya kepentingan individu, kelompok, atau partai politik semata.
      Mudah-mudahan kita bisa menarik pelajaran, sebelum semuanya terlambat.
    
  *)Priyo Pujiwasono PhD candidate, George Washington University,
      Washington, DC
      Artikel ini pernah dimuat di harian Kompas,Selasa ,06 Nopember 2001

0 komentar: